29 March 2013

JANGAN PERNAH NONTON METROTV KAPANPUN JUGA !!!!!

Luviana, Korban Pemodal TV brewok !

TEMPO.CO, Malang - Film dokumenter berjudul di balik frekuensi menarik perhatian publik Malang. Sekitar 600 orang menonton film yang diputar di theatre UMM Dome, Senin 25 Maret 2013. Usai pemutaran film dilanjutkan diskusi bersama narasumber sutradara Ucu Agustin, pengamat media dari Universitas Muhammadiyah Malang Frida Kusumastuti dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Maulana Arif.

"Film diputar dalam dua sesi," kata koordinator komunitas pecinta film Lensa Mata. Pemutaran film ini hasil kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Lensa Mata dan Universitas Muhammadiyah Malang. Para penonton berasal dari kalangan mahasiswa, pelajar, praktisi media, lembaga swadaya masyarakat dan akademisi.

Mereka tetap bertahan di tempat duduk mengikuti pemutaran film yang berdurasi 144 menit hingga akhir. Bahkan, mereka juga antusias dalam sesi diskusi umpan balik dari para penonton. Berbagai kesan disampaikan para penonton usai mengikuti pemutaran film, mereka mengaku mendapat inspirasi, dan wawasan mengenai apa yang terjadi di ruang redaksi sebelum berita disiarkan.

"Setelah menonton film ini, masyarakat menjadi bingung. Dengan banyak informasi yang beredar, mana yang benar," tanya mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, Fahrrurozi. Bahkan ia khawatir jika film ini akan dimanfaatkan politisi untuk menyerang salah satu calon presiden. Maklum film ini menyoroti konglomerasi media yang dimiliki Ketua Partai Nasional Demokrat Surya Paloh dan Ketua Partai Golkar Abu Rizal Bakrie.

"Film ini bisa menjadi alat untuk menyerang keduanya," kata Fahrurozi. Mengenai persoalan ini, sutradara Ucu Agustin mengaku tak ada niatan menyerang salah satu tokoh politik tersebut. Film diangkat berdasarkan cerita yang dialami kedua tokoh yakni jurnalis Metro TV Luviana yang dipecat karena memperjuangkan kesejahteraan dan korban lumpur Lapindo Hari Suwandi.

"Sejarah panjang media di Indonesia, ini menjadi film dokumenter pertama soal media," katanya. Pengamat media UMM Frida Kusumastuti menilai film yang diangkat Ucu telah berpihak kepada masyarakat dan jurnalis. Agar frekuensi milik negara yang digunakan siaran televisi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.

"Praktik saat ini, pemilik media bisa menyiarkan berita sesuai keinginannya. Sama dengan jaman TVRI yang menjadi corong pemerintah jaman orde baru," katanya. Untuk itu, ia masyarakat harus melakukan gerakan untuk melawan dominasi pemodal. Tujuannya, untuk membantu jurnalis menegakkan profesi sehingga tayangan dan berita yang disiarkan adalah tayangan yang sehat.

Sementara Koordiantor Isi Siaran KPID Jawa Timur Maulana Arif menilai film dokumenter karya Ucu Agustin layak diputar di gedung film secara berbayar. Lantaran, film ini gampang dicerna dan memberikan gambaran nyata tentang korporasi media. "Ancaman dan kekerasan jurnalis juga dialami dari dalam ruang redaksi. Pemilik modal mempengaruhi ruang redaksi," katanya.

KPI, katanya, tak bisa melakukan pengawasan sendirian tapi harus dilakukan gerakan bersama-sama dengan masyarakat. Sementara KPI melakukan pengawasan terhadap isi siaran dan regulasi secara teknis. Ancaman dan tekananan akan semakin kuat, katanya, menjelang pemilihan umum 2014 mendatang.

"Ingat siaran digital 2018, masalah akan semakin kompleks," katanya.

EKO WIDIANTO


Referensikan Blog Ini dengan nama domain : www.kisahhidupiw.blogspot.com